Jagat kepemiluan dibuat kaget oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (3/3/2023) kemarin. Majelis Hakim yang diketuai T Oyong dengan Hakim anggota H Bakri dan Dominggus Silaban mengabulkan gugatan perdata yang diajukan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima).
Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan KPU RI selaku tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024, kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari. Konsekuensinya, pelaksanaan pemungutan suara pemilu mundur ke Juli 2025.
Bila ditarik ke payung hukum yang lebih tinggi, putusan PN Jakarta Pusat tersebut juga melanggar konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu terakhir pada 2019, maka penyelenggaraan selanjutnya harus dilaksanakan pada 2024.
Para hakim yang memutus perkara Partai Prima ini jelas tidak menyadari betapa peliknya proses penentuan tanggal pemungutan suara di 2024 untuk pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota DPD, yang kemudian dilanjutkan dengan pilkada di tahun yang sama.
Mahkamah Konstitusi sampai turut dilibatkan untuk memberikan penafsiran yang pasti tentang keserentakan pemilu yang dimulai pada Pemilu 2024. Semua dilakukan agar pemilu digelar sesuai jadwal yang diamanatkan konstitusi dan UU Pemilu.
Walaupun KPU telah menyatakan akan banding, proses kepemiluan kini dilanda ketidakpastian sehingga sangat mudah disusupi kepentingan sepihak. Perkara putusan yang gegabah itu kiranya perlu diusut tuntas dan pihak peradilan secepatnya mengoreksi. Jangan biarkan para penyabot pemilu terpuaskan.