Putusan Dagelan Mahkamah Kehormatan
N/A • 22 March 2023 08:30
Muruah Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga gawang Undang-undang Dasar 1945 akan tetap tegak jika para punggawanya benar-benar memiliki integritas tinggi, jujur serta teguh dalam prinsip moralitasnya. Sosok dengan predikat manusia setengah dewa.
Mahkamah Konstitusi berada di puncak dalam sistem ketatanegaraan di republik ini. Kewenangannya sangat besar, bahkan teramat besar. Mulai dari menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Bahkan urusan pemakzulan presiden pun harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi seperti termaktub dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden menurut UUD 1945.
Sembilan punggawanya yang berpredikat hakim konstitusi harus benar-benar kokoh menjadi tiang penopang demi menyangga muruah lembaga yang lahir dari amanat reformasi ini demi mengawal tetap terjaganya demokrasi konstitusional.
Untuk itulah, ketika ada praktik lancung yang dilakukan salah satu pilarnya, seperti yang dilakukan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, seketika itu pula wibawa MK terpeleset di mata publik.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada Guntur Hamzah. MKMK menyatakan Guntur melanggar etik karena ikut mengubah putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 uji materi Pasal 23 ayat 1 dan 2 serta Pasal 27 UU MK.
Uji materi ini diajukan sebagai respons atas pencopotan Aswanto sebagai hakim konstitusi pada 29 September 2022 yang kemudian digantikan oleh Guntur.
Pengubahan putusan itu dilakukan ketika masih ada kontroversi atas pengangkatannya sebagai hakim MK menggantikan Aswanto. Selain itu, Guntur juga tidak ikut memutus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XX/2022.
Pada putusan yang dibacakan terdapat frasa "dengan demikian", sedangkan dalam salinan frasa itu berubah menjadi "ke depan". Meskipun pembajakan narasi tersebut minim, tetapi dampaknya sangat besar.
Jika tetap dengan frasa ‘dengan demikian’ putusan tersebut menegaskan bahwa pencopotan Aswanto oleh DPR tidak sah dan harus batal demi hukum. Sedangkan ketika diubah menjadi frasa ‘ke depan’, putusan tersebut tidak membatalkan pencopotan Aswanto karena hanya dapat diterapkan di masa mendatang.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan tersebut, sanksi MKMK berupa teguran tertulis terhadap Guntur dinilai permisif terhadap aksi yang jauh dari sikap transparan dan berintegritas yang harusnya tegak dalam setiap perilaku hakim konstitusi.
Pemberian sanksi yang sumbang, karena ringan, tidak selaras dengan dampak besar yang ditimbulkan. Sanksi tanpa efek jera semacam itu tidak hanya akan mempengaruhi kredibilitas MK, namun pastinya juga akan sangat berdampak terhadap persepsi pihak-pihak yang berperkara serta juga kepercayaan publik.
Kepercayaan publik inilah yang mestinya benar-benar dijaga oleh MK. Persoalan konstitusi masih menumpuk dalam bentuk gugatan uji materi undang-undang.
Belum lagi gelaran pemilihan umum yang kurang dari setahun. MK sebagai pemutus sengketa pemilu semestinya benar-benar berwibawa. Dan wibawa MK itu hadir ketika dalam diri sembilan hakim konstitusi terpatri sikap antikorupsi, berintegritas tinggi, serta memiliki kapabilitas mumpuni. Karena itu, putusan MKMK sebuah kemunduran, bahkan dagelan yang tak patut.
(Dwiki Feriyansyah)