Kabar baik datang dari Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta. Baik karena majelis hakim konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait dengan syarat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), khususnya menyangkut status mereka sebagai mantan terpidana, maupun kini eks pesakitan tak bisa begitu saja mencalonkan diri sebagai senator.
Dalam sidang putusan, majelis menyatakan bahwa frasa tidak pernah terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun tak lagi cukup sebagai syarat. Mereka tak bisa ujug-ujug bisa berkompetisi menuju Senayan.
Kalau dulu, pagi keluar dari penjara siangnya bisa mendaftar, kali ini tidak. Ada persyaratan tambahan, yakni mantan terpidana harus sudah melewati waktu lima tahun setelah selesai menjalani hukuman penjara. Mereka juga tetap diwajibkan secara jujur dan terbuka mengumumkan latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
Kita mengapresiasi Perludem yang mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Pasal 182 Huruf G tersebut. Kita memberikan penghormatan kepada majelis hakim konstitusi yang dalam waktu singkat, hanya 1,5 bulan setelah uji materi diajukan, mengabulkan permohonan itu.
Melarang eks terpidana untuk bisa langsung mencalonkan diri sebagai anggota DPD adalah langkah apik demi menghasilkan senator yang baik. Ini keputusan cukup berkelas untuk mendapatkan wakil-wakil daerah yang punya integritas.
Bagaimana kita bisa berharap DPD berkualitas jika diisi oleh para bekas narapidana yang baru saja lepas dari penjara?
Bagaimana kita bisa mengapungkan asa DPD berintegritas jika dihuni oleh para terpidana kasus korupsi yang baru saja keluar dari jeruji besi?
Harus kita katakan, syarat awal pencalonan anggota DPD jauh dari cukup untuk dapat menyaring orang-orang berkualitas dan berintegritas. Benar, bahwa mereka bisa mencalonkan diri asal mengumumkan latar belakangnya sebagai eks narapidana.
Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin rakyat menjadikan hal itu sebagai pertimbangan utama untuk menjatuhkan pilihan? Ketika kedewasaan berpolitik kita belum begitu matang, tatkala politik uang masih memegang peranan, latar belakang kandidat sulit diandalkan sebagai saringan bagi pemilih.